Sejak akhir 1980-an ketika terjadi “Boom seni lukis” terjadi, banyak perupa merasakan adanya dominasi galeri komersial dalam menentukan nilai-nilai estetis suatu karya. Pasar yang seharusnya tidak merambah dan menjadi penentu nilai suatu karya seni tiba-tiba menjadi penentu yang cukup dominan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi sejumlah seniman yang mana penciptaan karya seninya tidak berorientasi ke pasar. Berdirinya Galeri Cemeti, yang berdiri pada 1988, di Yogyakarta, sebagai galeri alternatif agar bisa menyediakan ruang bagi perupa-perupa muda yang tidak menghendaki nilai estetis suatu karya didominasi oleh pasar. Mulai saat itu muncul istilah galeri alternatif. Dimana galeri yang menampilkan karya-karya yang tidak bertujuan memenuhi selera pasar disebut sebagai alternatif, karena menawarkan karya-karya seni rupa yang bersifat alternatif. Jadi saat itu kebutuhan akan ruang pamer di luar galeri komersial dibaca sebagai kebutuhan akan ruang untuk menampilkan karya-karya bernafaskan pembaruan yang jauh dari pasar dan sekaligus untuk menciptakan komunitas seni rupa dan ruang dialog. Kesadaran bahwa aktivitas kesenian bukan hanya sekitar dunia penciptaan, melainkan juga membangun wacana, infrastruktur jaringan, pendokumentasian dan penelitian, maka Galeri Cemeti (yang kemudian berubah nama menjadi Rumah Seni Cemeti atau RSC) kemudian membentuk Yayasan Seni Cemeti.
Kiprah RSC menjadikannya sebagai barometer perjalanan seni rupa kontemporer di Yogyakarta dan di Indonesia hingga pertengahan 1990-an. Kehadiran RSC disusul dengan munculnya komunitas-komunitas lain di Yogyakarta. Sekitar pertengahan 1990-an di Yogyakarta mulai muncul komunitas seni rupa di luar RSC, seperti Apotik Komik, Taring Padi, Galeri Benda, Kedai Kebun dan Gelaran Budaya. Di Bandung, muncul galeri seperti Selasar Sunaryo, yang diikuti oleh kelahiran ruang-ruang seni lainnya seperti Rumah Proses, Galeri Padi, Galeri Fabriek, Komunitas Kopi Pait, Gerbong Bawah Tanah, Bandung Center of New Media Arts dan Jejaring Artnetwork. Hubungan-hubungan yang terjadi antara komunitas-komunitas ini menarik untuk dikaji, misalnya tegangan yang terjadi antara Cemeti dengan komunitas-komunitas lainnya di Yogya. Beberapa anggapan menyebutkan bahwa kehadiran komunitas-komunitas yang lain tersebut merupakan sebuah aksi tandingan terhadap posisi Cemeti sebagai ‘barometer’, semacam pertentangan ideologis di kancah ruang alternatif itu sendiri.
Dari deskripsi di atas, kita dapat menarik beberapa poin yang menarik. Pertama yang cukup menonjol adalah masalah ideologi. Jargon-jargon heroik nampaknya hanya berhenti pada tataran ideologis, sementara pada tataran proses penciptaan mengalami kendala. Kendala yang paling nyata yang saya lihat adalah kesadaran ideologis ini tidak merata dikalangan anggotanya, sehingga aktivitas yang disebut praksis tidak dilakukan dengan baik dan intensif. Demikian juga penolakan terhadap galeri tidak sepenuhnya diterima oleh anggotanya, sehingga beberapa diantara mereka aktif pada kegiatan beberapa galeri. Kendala lain adalah, kesadaran ideologis justru membelenggu mereka, sehingga keberanian untuk melakukan eksplorasi estetis tidak ada. Eksplorasi estetis bagi mereka adalah identik dengan aktivitas seni rupa yang bersifat elitis dan tidak mampu dipahami oleh masyarakat kebanyakan.
Pada sisi perkembangan lain, kerja kolektif dan ruang publik menjadi wacana yang membuka celah lain. Kerja kolektif (yang didasari semangat bermain) bisa berarti kerja bersama-sama setelah tema ditentukan, bisa juga masing-masing individu membuat karya dengan tema yang sama. Kegiatan penciptaan seni rupa ini barangkali merupakan cermin dari kehidupan individu dalam masyarakat modern. Dimana ikatan sosial mulai renggang, namun tidak sepenuhnya longgar, sementara peran dan kebebasan individu sebagai cerminan dari pengaruh kebudayaan modern dihargai.
Kalau kita tarik lebih jauh lagi, maka sangat mungkin bahwa aktivitas penciptaan adalah sebuah permainan yang dihasilkan dari ketegangan antara kebebasan individu dan ikatan sosial yang menghasilkan sifat komunal. Ikatan sosial dalam budaya tradisional yang dianggap penting dan merupakan ikatan kekeluargaan yang tidak bisa ditinggalkan, kini oleh generasi muda kota dianggap terlalu membatasi kebebasan individu dan kuno. Dikotomi antara modern dan tradisi dalam kehidupan masyarakat dirasakan bukan lagi sebagai konflik, tetapi sebagai keadaan yang sudah seharusnya terjadi. Bahkan oleh beberapa generasi muda dan disikapi sebagai pengkayaan khasanah budaya yang bisa memberikan inspirasi seni mereka.
Ruang publik juga dianggap sebagai ruang pertemuan yang strategis antara masyarakat dan karya seni selain itu ruang publik adalah alternatif bagi para seniman yang mengalami kesulitan untuk menembus galeri-galeri formal. Keterbatasan untuk melakukan negosiasi dengan pemilik galeri, keterbatasan untuk tampil dan berkomunikasi secara formal, semua ini ikut mendorong mereka untuk tampil di depan publik tanpa harus melalui jalur formal, yaitu galeri. Dengan demikian ruang pamer bukanlah satu-satunya tempat untuk memamerkan karya, mereka bisa berpameran di mana saja.
Sampai disini mulai terasa adanya pergeseran atau pengembangan terhadap arti ruang. Ruang tidak lagi diartikan sebagai sekadar tempat memajang lukisan, tetapi juga dimana sebuah komunitas bisa membangun suatu dialog. Ruang tidak lagi terasa angker, dimana hanya bolah didatangi oleh masyarakat berpendidikan dan kelas menengah ke atas. Ruang tidak lagi dibatasi oleh dinding dan atap, tetapi juga tempat di mana publik setiap hari melakukan aktivitas sehari-hari, melakukan perjalanan dan sebagainya. Pergeseran arti ruang menyebabkan penamaan galeri saja tidak cukup bagi sebuah tempat berpameran. Rumah seni atau art house atau art space adalah perluasan dari galeri yang semula lebih mengutamakan pameran seni lukis dan berorientasi pada pasar. Sedangkan rumah seni, menyelenggarakan aktifitas seni rupa dalam batasan yang lebih luas, performance art, video art, seni digital, seni musik dengan kecenderungan penggarapan visual yang menonjol.
Rumah seni tidak selalu membangun komunitas seni rupa. Sedangkan komunitas seni rupa adalah institusi dimana sekelompok seniman bergabung untuk menciptakan sebuah ruang untuk berinteraksi, berdialog dan merepresentasikan gagasan dalam bentuk karya dan berkolaborasi. Sedangkan ruang untuk merepresentasikan karya-karya mereka bisa dilakukan ditempat lain, artinya komunitas ini tidak selalu mempunya ruang pamer, meski ada juga komunitas yang mempunyai ruang pamer.
Eksplorasi yang dilakukan komunitas-komunitas baru ini juga memungkinkan kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas dalam pengolahan media, seperti yang bisa dilihat dari gejala belakangan ini, dimana pengolahan media baru (new media) banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas seni rupa, terutama di Bandung dan Jakarta.
*
Komunitas-komunitas yang tumbuh bagai jamur di musim hujan tiga tahun belakangan ini, yang pasti sangat positif bagi terciptanya demokratisasi dalam kebudayaan. Keragaman memang tak terelakkan, hal ini juga menghancurkan mitos pusat dan pinggiran atau pusat dan periferi, maka dari itu lembaga-lembaga yang berorientasi untuk menjadi pusat—seperti Dewan Kesenian Jakarta—haruslah merevisi habis-habisan konsep kelembagaan dan mental para pejabatnya yang merasa sebagai penguasa kesenian. Kesadaran baru harus disuarakan, bahwa demokrasi bukan saja melekat pada kehidupan politik saja, melainkan juga pada sektor kehidupan lainnya termasuk kebudayaan. Kesadaran ini amat penting bagi terselenggaranya kehidupan kesenian agar lembaga-lembaga pemerintahan pusat atau daerah, serta lembaga-lembaga dana yang selama ini hanya melihat bahwa proses demokratisasi ada dalam kehidupan politik, mulai memberi perhatian besar pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup komunitas-komunitas kesenian sebagai kantong-kantong kebudayaan yang ikut membangun demokrasi kebudayaan.
Namun demikian pertumbuhan komunitas-komunitas ini haruslah di kritisi dan diteliti untuk memberikan gambaran yang jelas perubahan kebudayaan apa yang sedang terjadi saat ini. Apakah ini pertanda telah pulihnya iklim demokrasi dan kebebasan kreatif setelah jatuhnya Soeharto? Ataukah pengaruh dari perkembangan seni rupa dunia? Juga mampukah komunitas-komunitas ini menampilkan kelokalan yang mampu mengantisipasi proses globalisasi seni yang terjadi saat ini, sementara ideologi estetis yang melandasi aktifitas komunitas-komunitas tersebut belum jelas?
Untuk itu dibutuhkan penelitian, penerbitan, pendokumentasian dan pengkajian secara teoritis perkembangan seni rupa kontemporer. Telaah terhadap pertumbuhan komunitas dengan latarbelakang ideologinya sama pentingnya dengan acara-acara bienniale atau pameran besar dengan tema mencari kelokalan, penting untuk mengantisipasi terhadap perkembangan seni rupa dunia saat ini, dimana keberadaan seni rupa dunia ketiga dalam percaturan seni rupa dunia telah menjadi kenyataan sejak dua dasawarsa belakangan ini. Kenyataan ini tidak menjadikan posisi seni rupa dunia ketiga sejajar dengan negara-negara Eropa dan Amerika, hegemoni Eropa dan Amerika masih terasa. Hal ini bisa ditengarai bahwa wacana lokal tidak selalu mendapat ruang yang cukup untuk diakomodir. Hegemoni juga terasa dengan model-model kuratorial dalam lokasi internasional maupun regional yang ditentukan oleh penyelenggara (baca Dunia Pertama).
Namun hegemoni ini menjadi tersamar ketika label multikultural disematkan pada setiap kegiatan, sehingga banyak perupa maupun para kurator yang terlibat dalam kegiatan besar, regional maupun internasional tak menyadarinya. Dunia ketiga ternyata juga tak mampu diterjemahkan konsep multikultural secara baik, semua ini bisa dilihat dari ketidakmampuan membaca wacana lokal dalam konteks budayanya. Sementara agenda-agenda besar dengan label pertukaran kebudayaan, lintas budaya atau apalah yang bernafas multikultural diselenggarakan tanpa konsep yang jelas. Contohnya adalah, dalam hitungan hari, minggu atau bahkan bulan sekalipun seseorang diharapkan mampu memahami budaya bangsa lain. Sementara fasilitas dan program dialog antarperupa tidak pernah dirancang dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar